Senin, 18 April 2011

AGRESI MILITER BELANDA

AGRESI MILITER BELANDA
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Agresi yang merupakan pelanggaran dari Persetujuan Linggajati ini menggunakan kode "Operatie Product".Tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.







B. Rumusan Masalah
            1. Apa saja tujuan Belanda mengadakan Agresi Militer ?
2. Kapan dan dimana operasi militer penyerangan Belanda terhadap Indonesia  dilancarkan ?
3. Tindakan apa saja yang digunakan badan perserikatan bangsa-bangsa dalam menghadapi argesi militer ?
4. Bagaimana reaksi rakyat setelah di adakannya Agresi Militer Belanda ?
5. Apa dampak dari Agresi Militer Belanda bagi masyarakat Indonesia ?

C. Tujuan Pembahasan
            Dalam pembahasan Agresi Militer kita dimaksudkan untuk lebih memahami dan mendalami tentang kapan dan dimana diadakan Agresi Militer, tujuan dari pihak Belanda mengadakan Agresi Militer. Pemaparan tentang kapan pihak Belanda mengadakan penyerbuan di berbagai daerah di Indonesia dan bagaimana reaksi dunia tentang Agresi Militer Belanda I dan II, campur tangan apa saja yang dilakukan pihak dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa untuk megantisipasi adanya Agresi Militer. Penyerbuan yang dilakukan rakyat karena ingin membela Negara atau tanah air Indonesia. Didalam pembahasan ini akan dibahas secara menyeluruh.

D. Definisi Agresi Militer
Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Agresi yang merupakan pelanggaran dari Persetujuan Linggajati ini menggunakan kode "Operatie Product".
Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara


BAB II
Pembahasan
A. Agresi Militer I
A.1 Latar Belakang Agresi Militer I
Tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

A.2 Tujuan Agresi Militer I
            Tujuan Belanda melakukan serangan atas RI yang dimulai sejak 21 juli 1947 ialah menghancurkan RI. Tetapi tujuan itu Belanda tidak bisa melakukan sekaligus. Karena itu pada fase pertama Belanda harus mencapai sasaran sebagai berikut :
1. Politik   : Pengepungan ibu kota RI dan penghapusan RI dari peta  (menghilangkan de facto RI)
2. Ekonomi   : Perebutan daerah-daerah penghasil bahan makanan (daerah beras     di Jawa Barat dan Jawa Timur) dan Bahan ekspor (perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatra serta pertambangan di Sumatra).
3. Militer       :  Penghancuran TNI
           
            Jika fase pertama dapat dilampaui dengan baik, maka fase kedua, yaitu fase penghancur RI secara sempurna, akan dapat dilakukan. Berhasil Belanda mencapai tujuan fase pertama, Ibu kota RI memang terkepung dan hubungan ke luar sulit karena pelabuhan-pelabuhan yang berarti dikuasai Belanda. Ekonomi RI mengalami kesulitan pula karena daerah RI yang merupakan penghasil beras jatuh ke tangan Belanda, sedangkan hubungan dengan luar sulit karena blokade Belanda. Tetapi dalam dalam usahanya menghancurkan TNI Belanda menemui kegagalan. TNI dalam perang kemerdekaan I mempratekkan sistem pertahanan linear (mempertahankan garis pertahanan) yang tenyata tidak efektif, sehingga TNI terusir dari kota-kota. Akan tetapi TNI tidak mengalami kehancuran, lalu bertahan di desa-desa. Kelak dalam perang kemerdekaan II TNI mempraktekkan siasat perang rakyat semesta dengan bergerilya.

A.3 Campur Tangan Dewan Keamanan PBB
Inggris dan Amerika, dua negara Barat yang besar , kecewa atas terjadinya Agresi Militer Belanda. Mereka khawatir akan terjadi pergolakan yang berlangsung lama di Indonesia, yang dapat mengakibatkan kekacauan polotik, militer,dan ekonomi, serta akan memberikan kesempatan baik bagi fihak komunis untuk memperbesar pengaruhnya.
Radio San Franciscomenguraikan pernyataan pemerintah Amerika Serikat tentang jalan perundingan Indonesia- Belanda sejak persetujuan Linggarjati tercapai. Amerika Serikat hanya mengangap usul Belanda pada tanggal 27 mei 1947 itu cukup untuk dijadikan dasar pembincangan guna menyelesaikan soal Indonesia-Belanda, agar kedua belah fihak mencapai persetujuan dengan semangat persahabatan. Waktu kelihatan perundingan Indonesia-Belanda tanggal 12 juli 1947 akan gagal, Pemerintah Amerika Serikat menyatakan sekali lagi kepada pemerintah Belanda, bahwa Amerika Serikat snga merasa khawatir terhadap keadaan, Dan pada tanggal 20 jili 1947 mendapat keterangan dari pemerintah dari pemerintah Belanda, bahwa Belanda akan memutuskan perhubungan damai dengan RI dan akan mengmbil tindakan militer pada pada tanggal 21 juli 1947. Tetapi tindakan ini menurut Belanda adalah “tindakan politisi” dan akan terbatas sifatnya,, serta tidak akan ditunjukkan untuk merusak keutuhan Republik, dan bila kekuasaan sudah kembali ketangannya, Belanda akan membentuk Negara Indonesia Serikat pada tanggal 1 januari 1949. Baik RI di Yogya maupun Belanda di Jakarta sama menyampaikan anjuran-anjuran dan pembelaan-pembelaan ke luar negeri.
Presiden Sukarno pada tangal 25 juli 1947 menyampaikan seruan khusus kepada pemerintahan Amerika Serikat. Beliau meminta kepada presiden Truman dan rakyat Amerika seluruhnya supaya berusaha menghentikan peperangan di Indonesia dan membawa negar Indonesia kembali ke dalam keadaan damai.
Meskipun Inggris menawarkan perantaraanya dalam menyelesikan soal Indonesia-Belanda, demikian presiden Soekarno, pengaruh dari Negara lain seperti Amerika Serikat masih diperlukan supaya tawaran Inggris diterima oleh Belanda. Presiden sendiri dan rakyat Inggris menjadi perantara, dan beliau percaya., bahwa dengan Inggris sebagai perantara, rakyat Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dan jujur.
Pada malam sebelumya Van Mook berpidato, yang ditujukkan kepada luar negeri. Ia menyatakan kekhawatirannya, bahwa gerakan yang dinamakannya “gerakan polosionil“ sekarang ini dianggap oleh luar negeri sebagai agresi. Sebagai bukti bahwa ini bukan agresi, dikatakannya, bahwa “banyak orang Indonesia berfihak pada Belanda”. Terhadap rakyat Indonesia ia menyatakan, bahwa diantara rakyat ada golongan bertanggung jawab dan ada golongan yang tidak betanggung jawab. Van Mook berseru untuk bersama-sam belanda guna melakukan pembangunan.             
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

A.4 Keputusan Dewan Keamanan PBB
Dewan keamanan menolak usul Belanda dan kawan-kawan supaya jangan mencampuri soal Indonesia-Belanda dan untuk menerima Sukawati cs. Sementara itu dewan keamanan terus memperbincangkan pentenyelesaian masalah Indonesia-Belanda. Dalam siding tnggal 14 Agustus 1947, wakil Belanda Van Kleefens tetap menentang soal ini dibicarakan, karena nyatanya RI bukan Negara yang berdaulat, dan hanya diakui de facto oleh Belanda, Selama belum ada penyerahan kedaulatan , katanya PBB tak boleh mendahului. Sebaliknya wakil Rusia Gromyko heran mengapa RI tidak diakui berdaulat. Ia menyokong sengketa itu dibicarakan oleh Dewan Keamanan.[1]
Perdebatan mengenai diterima atau tidaknya wakil Republik memakan waktu sampai 3 jam. Dalam pemungutan suara yang tidak setuju ialah Inggris, Perancis dan Belgia. Van Kleffers dalam perdebatan itu sekali lagi meyatakan bahwa republik bukan Negara yang berdaulat dan karena itu wakilnya tak perlu didengar. Wakil Inggris Cadogan menerngkan bahwa Inggris sependapat dengan wakil Belanda, karena inggris juga belum mengkui republic sebagai Negara berdaulat.
Wakil Amerika Johson menyatakan, bahwa walaupun Amerika Serikat mempunyai pendapat sendiri tentang kedaulatan republik, tetapi ia belum berpendapat sendiri tentang kedaulatan republik, tetapi ia berpendapat adalah adil kalau dalam peristiwa ini seorang utusan republic didengar keterangannya. Presiden Dewan, Faris El Khouri berpendapat bahwa Syahrir harus diterima dan hal ini tidak ada hubungannya dengan hak veto.
Akhirnya Van Kleffensr menyatakan tidak keberatan, tetapi ia minta supaya wakil-wakil Kalimantan dan Indonesia Timur, yang kini sedang dalam perjalanan juga didengar bila sudah tiba di New York. Dengan demikian wakil republik Indonesia akhirnya diterima dengan 8 lawan 3 suara. Pada tanggal 14 Agustus 1947 pukul 00.30 pemerintah RI menyiarkan suatu statement yang ditujukan kepada ketua dewan keamanan mengenai akan dibicarakannya lebih lanjut sengketa Indonesia-Belanda di dewan.
Kemudian di depan sidang, Syahrir menerangkan kepada Dewan bahwa pertikaian Indonesia-Belanda mengancam perdamaian dunia. Ia mendesak keada dewan untuk membentuk suatu badan arbitrage yang tak berfihak, yang menurut Syahrir adalah satu-satunya syarat untuk mencapai penyelesaian dengan jalan damai yang kekal. Syahrirpun mendesak supaya dewan keamanan memerintahkan ditariknya kembali tentara Belanda dari semua daerah RI. Ia menyokong usul wakil Australia Hodson untuk segera mengirimkan komisi pengawas ke Indonesia. Sebagai pokok pidatonya, Syahrir membentangkan sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Ia katakana, bahwa pada abad ke14 Indonesia merupakan Negara yang meliputi pulau di Asia Tenggara. Tetapi sejarah Indonesia berbelok kearah yang tragis sejak permulaan pemerintahan colonial Belanda. Penindasan dan penghisapan Belanda bukan saja menyebabkan kemunduran dan keruntuhan tanah air bangsa Indonesia, tetapi juga merosotnya dari kedudukanya yang gemilang menjadi tanah jajahan yang lemah dan sengsara.
Syahrir mengisahkan pula kejadian-kejadian yang menyebabkan pecahnya pertempuran, yang akhirnya dihentikan oleh perintah cease fire dewan keamanan. Ia menyatakan bahwa Belanda hendak memaksa fihak Indonesia menerima interpretasi Belanda mengenai perjanjian linggarjati dan bahwa Belanda acap kali mengabaikan pasal mengenai arbitrage yang ada dalam persetujuan itu.
Dan akhirnya Van Kleffens menyatakan, besedia memajukan usul kepada Fihak republic sebagai berikut :
Pertama, fihak Belanda dan fihak republik masing-masing memilh satu negara, kemudian kedua negara itu bersama-sama menunjuk negara ketiga yang tidak berfihak, Nagara ini mengirim sejumlah warga negaranya ke Indonesia untuk kemudaian memberi laporan yang akan diumumkan seluas-luasnya. “Goede diensten” dari negara ketiga ini bisa juga digunakan untuk menyelenggarakan perundingan lagi antara kedua fihak, demikianpun untuk memberi laporan tentang keadaan sekarang.
Kedua, Semua Konsul di Jakarta diberi perintah oleh pemerintahnya masing-masing untuk segera memberi laporan tentang keadaan di Jawa, Sumatera dan Madura.

B. Agresi Militer II   
B.1 Latar Belakang
Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.

B.2 Beberapa Penyerangan di Yogyakarta
            a. Serangan Belanda ke Maguwo
Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting. Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai."
Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
b. Komunike Perang di Pangkalan Udara Maguwo (Ygyakarta)
                        Tanggal 1 Agustus 1947 dua pesawat terbang pemburu Belanda P.40 jam 06.20 menembaki pangkalan udara Maguwo (Yogyakarta) selama 5 menit. Jam 06.50 dua pesawat tersebut terbang di atas Solo menuju Madiun. Lima truk musuh dengan 1 motorfies yang menuju Plawangan (barat Pemalang) diserang pasukan-pasukan Indonesia. Bantuan Belanda terus datang dengan truk dan dibantu dengan serangan-serangan dari udara.

B.3 Pendirian Pemerintahan Darurat
Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel S Panglima Besar Jenderaimatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi. Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.

B.4 Campur Tangan PBB dan Kegagalan Usaha Arbitrase
            Sesudah pemberontakan PKI berhasil ditumpas, kedudukan PKI dalam KNIP menjadi beku, sekalipun tidak ada pernyataan yang tegas tentang pembubaran PKI. Dengan hancurnya lawan politik mereka, golongan GRR mengadakan suatu move politik. Muh. Yamin yang pada waktu itu termasuk golongan Tan Malaka menganjurkan kepada pemerintahan agar di bentuk pemerintahan yang berdasarkan “ Tripe Platform” yaitu golongan agama,nasionalis dan sosialis. Menurut Yamin pembentukan pemerintah berdasarkan tiga dasar tersebut bertujuan untuk memperoleh tenaga rakyat.[2]
            Karena tidak ada persesuaian pendapat, perundingan dengan Belanda mengalami kemacetan lagi. Pendapat umum di pihak Indonesia merasa kecewa terhadap KTN, KTN dianggap lebih banyak sebagai wasit daripada sebagai perantara dalam perjuangan diplomatic Indonesia-Belanda. Jalan keluar untuk mengatasi kemacetan ini sebenarnya telah dirintis oleh usul Du Bois-Cricley, yakni masing-masing wakil Amerika Serikat dan Australia di dalam KTN. Sementara itu wakli Amerika Serikat di panggil kembali oleh pemerintahnya, dan digantikan oleh Merle Cochran. Cochran mengjukan usul baru untuk mengatasi kemacetan itu. Usul itu pada dasarnya tidak berbeda dari usul De Bois, hanya Cochran mendahulukan pembentukan pemerintahan interim daripada pembentukan konstituante sebagaimana yang diusulkan oleh Du Bois-Critchley.
            Tanpa melalui KTN, PM Hatta mengadakan pendekatan politik baru dengan Van Mook. Kedua belah pihak mengdakan perundingan langsung dengan KTN sebagai saksi. Pada tanggal 27 November 1948 delegasi Belanda datang ke Indonesia, yang terdiri dari menteri seberang lautan Mr. E.M.J.A Sassen, Menteri Luar Negeri D.U. Stikker, dan wakil pemerintahan agung Belanda L. Neher.[3] Perundingan dilangsungkan di Kaliurang antara PM Hatta dan delegasi Belanda secara langsung tanpa pengwasan KTN. PM Hatta mengatakan bahwa sebab terhentinya perundingan ialah karena perselisihan masalah prinsip. Setelah gagalnya perundingan pada tanggal 9 Desember 1948 pemerintah RI mengirim nota kepada KTN mengenai pendirian RI :
  1. Pemerintah RI telah mengalah sedapat-daptnya untuk mendekati pendirian Belanda.
  2. Petunjuk yang diberikan kepada Menteri Belanda terbatas pada penjajagan apakah pada dasarnya RI menerima baik syarat-syarat yang diajukan Belanda, sehingga tidak merupakan usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai perdamaian lewat perundingan.
  3. Pemerintah Belanda terbukti pada tahun 1948 akan membentuk pemerintah interim tanpa RI, tanpa perundingan dengan RI di bawah pengawasan KTN terlebih dahulu.
Dua hari kemudian, tanggal 11 Desember 1948, KTN juga menerima nota dari pemerintah Belanda, yang isinya :
  1. Dalam perundingan di Kaliurang terbukti RI tidak mempunyai kekuasaan yang nyata terhadap tentaranya karena itu tidak dapat diharapkan kerjasama yang sungguh-sungguh untuk mencegah pelanggaran persetujuan gencatan senjata.
  2. Pendirian RI mengenai Wakil Tinggi Mahkota, terutama mengenai kekuasaan terhadap tentara dimasa peralihan, bertentangan dengan kedaulatan Belanda sebagaimana ditetapkan dalam bagian pertama pokok-pokok azasi Persetujuan Renville, yang berarti berlangsungnya suatu keadaan yang tak dapat dipertahankan, dimana ada dua tentara saling berhadapan dibawah pimpinan yang terpisah.
  3. Penolakan mengkui kedaulatan Belanda selama masa peralihan menyebabkan tidak ada harganya RI menerima naskah persetujuan yang di rencanakan oleh KTN dan Amerika Serikat pada tanggal 10 september sebagai dasar perundingan.
  4. Pemerintah Belanda harus bertindak melaksanakan keputusan mengenai pembentukan pemerintahan interim yang direncanakan atas dasar persetujuan wakil-wakil daerah federal.
Sebagai penutup dari nota tersebut pemerintah Belanda menyatakan bahwa perundingan di bawah KTN tidak berfaedah, karena pada hakekatnya RI tidak mau mengakui adanya perjanjian gencatan senjata dan persetujuan Renville.[4][5]
B.5 Persiapan- Persiapan di Bidang Pertahanan
            Dengan berkhirnya pemberontakan PKI, pimpinan Angkatan Perng mulai memikirkan kembali mengenai kemungkinan serangan militer Belanda. Berdasarkan oerkiraan keadaan setelah diterimanya persetujuan Renville, Belanda berusaha mengepung republic Indonesia,secara politis,ekonomis dan militer. Gejala-gejala akan datangnya suatu serangan militer telah dirasakan oleh pimpinan angkatan perang, sejak Belanda mencoba mengukur-ulur waktu mengenai perundingan pelaksanaan persetujuan renville. Di beberapa tempat tentara Belanda melakukan pemindahan pasukan ke dekat garis demakrasi.[6]
            Sebagai tanggapan atas tindakan Belanda ini pimpinan angkatan perang merencanakan pelaksanaan dari pada pertahanan RI. Adapun konsepsi pertahanan yang dianut adalah pertahanan rakyat semesta (total people’s defence), artinya pelaksanaan perng bukan semata-mata oleh angkatan perang melainkan oleh seluruh rakyat dengan angkatan perng sebagai intinya. Namun konsepsi ini tadinya baru dicanangkan pada tingkat politis dan belum dijabarkan secara nyata. Penjabarannya diterngkan didalam perintah siasat NO 1 dari Panglima Besar Angkatan Perang yang berisi :
    1. Tidak akan melakukan pertahanan linier.
    2. Tugas memperlambat kemajuan dan serbuan musuh serta pengungsian total serta bumi hangus total.
    3. Tugas membentuk kantong-kantong di tiap-tiap onderdistrik militer yang mempunyai pemerintahan gerilya yang totaliter dan mempunyai pusat di beberapa kompleks pegunungan.
    4. Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah “federal “ untuk menyusup ke kantong-kantong, sehingga seluruh pulau jawa akan menjadi satu medan perang gerilya yang besar.[7]
Maksud pokok dari pada perintah siasat tersebut adalah : mengadakan perlawanan dengan perang gerilya yang agresif yang dilakukan oleh tentara dan rakyat untuk membela RI dan sekaligus memenangkan perang. Hal ini perlu dicapai dengan :
a.       Pimpinan totaliter artinya dibentuk suatu pemerintahan militer gerilya yang dipegang oleh lurah sampai kepada pimpinan tertnggi dalam hal ini Panglima Besar Soedirman.
b.      Politik non kooperasi dan non kontak yang tegas. Semua aparat pemerintah dilarang melakukan kebijaksanaan lain dalam hubungannya dalam musuh.
c.       Organisasi TNI dengan 3 macam tugas :
·        Pasukan mobil, yang bertugas tempur dengan perbandingan senjata dan personil 1:1
·        Pasukan territorial, yang bertugas melaksanakan pembinaan territorial dan perlawanan statis.
·        Melaksanakan penyusup ke daerah kekuasaan musuh, yang pernah ditingglkan karena hijrah untuk diisi dengan kekuatan gerilya, untuk menciptakan kantong di daerah tersebut.
Karena saat serbuan musuh tidak dapat di pastikan kapan, persiapan lebih lanjut tidak saja dalam bentuk politis, yang berupa peraturan pemerintah, tetapi dalam bentuk nyata. Pada tanggal 11 November 1948, para pejabat sipil dan militer di undang ke Markas Besar Komando Jawa, untuk mendapat kejelasan tentang rencana dan pelaksanaan dari pada perintah Siasat No 1 tersebut. Suatu pemerintah militer akan mendapat intruksi bekerja apabila musuh memulai agresinya. Telah diatur bersamaoleh Departemen Dalam Negeri dan Markas Besar Angkatan Perang dalam suatu bidang kabinet untuk menghapus jabatan Gubernur Sipil di masa perang.

B.6 Gerilya
Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.
Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.
Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka terpaksa pula menghadapi gerombolan DI/TII.
Pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya. Di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tercatat, hari kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945, dan bukan 27 Desember 1949, hari kemerdekaan yang diakui de jure oleh Pemerintah Belanda.
Dalam upaya untuk menjajah kembali Indonesia, Belanda mengerahkan angkatan perangnya dan melakukan agresi militer terhadap Republik Indonesia, satu negara merdeka dan berdaulat. Tentara Belanda tercatat dua kali melancarkan serangan besar-besaran, yakni pada 21 Juli 1947 dan 19 Desember 1948. Untuk mengecoh opini dunia internasional, Aksi Militer ini “dikemas” sebagai Aksi Polisional, untuk memulihkan kembali “ketertiban dan keamanan, dan membasmi para “perusuh keamanan, perampok dan penjahat”. Yang mereka maksud sebagai “perusuh keamanan, perampok dan penjahat” adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan para pahlawan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, yang kini kebanyakan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di seluruh Indonesia.
Selama berlangsungnya agresi militer antara tahun 1945 hingga 1950, tentara Belanda telah melakukan kejahatan perang (war crimes), kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) dan berbagai pelanggaran HAM berat serta perkosaan terhadap perempuan Indonesia.Berbagai kejahatan atas kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan oleh tentara Belanda, samasekali luput dari perhatian dunia, padahal kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda, tidak kalah kejamnya seperti yang dilakukan oleh tentara Jerman dan Jepang selama Perang Dunia II.
Bukan hanya di Sulawesi Selatan saja tentara Belanda melakukan pembantaian massal terhadap penduduk sipil, melainkan juga di daerah-daerah lain di Indonesia, seperti di desa Rawagede, dekat Karawang, Jawa Barat.Pada 9 Desember 1947, sehari setelah dimulainya perundingan Renville, tentara Belanda dengan kejam membantai 431 penduduk desa Rawagede, hanya karena mencari seorang pejuang Indonesia, Kapten TNI Lukas Kustario.
Sebagaimana juga dengan pembantaian massal di Sulawesi Selatan di bawah komando Kapten Raymond P.P. Westerling, komandan tentara dan para prajuritnya yang melakukan pembantaian di desa Rawagede demi “kepentingan negara yang lebih tinggi”, demikian dilaporkan oleh Pemerintah Belanda kepada Parlemen Belanda Excessennotade pada tahun 1969 tidak ada seorangpun yang dimajukan ke pengadilan militer Belanda, apalagi dimajukan ke tribunal internasional, seperti yang dilakukan terhadap penjahat perang Jerman setelah berakhirnya Perang Dunia II.Di desa Rawagede kini masih hidup 21 orang janda korban pembantaian, yang usianya semua sudah di atas 75 tahun, dan selama hampir 60 tahun, tidak pernah mendapat perhatian dari pihak manapun, apalagi dari pihak Belanda. Dipastikan, di Sulawesi Selatan dan di daerah-daerah lain para janda korban pembantaian tentara Belanda juga rata-rata telah berusia di atas 75 tahun.
Apabila Belanda ingin menjadi Bangsa yang di hormati, maka sudah waktunya dan sepantasnya Pemerintah Belanda bertanggungjawab atas kejahatan yang telah dilakukan oleh tentaranya selama agresi militer di Indonesia, dan membayar utang kehormatan berupa kompensasi kepada rakyat Indonesia, terutama kepada para korban yang selamat, janda dan keluarga korban agresi militer mereka.Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menyelenggarakan seminar dengan judul:“Indonesia Menggugat”di Perpustakaan Nasional RI pada hari Kamis, 9 Agustus 2007, pukul 08.30 – 13.00, dan akan mengadakan: unjuk rasa ke kedutaan besar kerajaan Belanda di Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3, pada hari Rabu, 15 Agustus 2007, pukul 10.00 รข€“ 11.00.Di kedua kegiatan tersebut, Komite Utang Kehormatan Belanda akan menghadirkan beberapa korban selamat dan janda korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede pada 9 Desember 1947.Komite Utang Kehormatan Belanda akan menuntut Pemerintah Belanda untuk segera memberikan kompensasi kepada para korban yang selamat, para janda dan keluarga korban pembantaian dan pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh Indonesia.








BAB III
Dampak Dari Agresi Militer
A. Korban Pembunuhan Oleh Belanda di Yogyakarta
Rekapitulasi orang-orang yang di bunuh oleh Belanda
  1. Korban orang-orang yang di bunuh oleh Belanda
Kalurahan Pengkah                   : 1 orang
Kelurahan Kadung Keris          : 1 orang
Kelurahan Ngilpar                    : 1 orang
Jumlah                                      : 3 orang
  1. Orang-orang yang di binuh dan sembuh
Kelurahan Kedung Jeah            : 2 orang
Kelurahan Nglipar                    : 1 orang
Jumlah                          : 3 orang
c.   Orang yang di tembak dan masih dirawat di rumah sendiri atau rumah sakit tidak ada.
B. Kerompakan Kekejaman Belanda di Yogyakarta
Perompakan Kekejakan Belanda
Kelurahan                                 Jumlah                          Harga
Kelurahan Pengkub                              1 Palang Kain                           2500,-
Kelurahan Nglipar                                1 Sepeda                                20.000,-
                                                            1 Bongkah Kain                     50.000,-
                                                            2 jam Logam                            8.000,-
                                                            1 Pasang Subeng                    10.000,-
                                                            3 Biji Keris                                  250,-
                                                            2 Biji Lumbang             1.000,-
                                                            1 Badju Surdjam                         400,-
                                                            1 Kain Batik Lebar                  7.000,-
                                                            2 Gemuk Lawe Lening                 400,-
                                                            1 Kitab Koran                             100,-
                                                            2 Kalung Baru                             100,-
                                                            1 Kaca Almari                             500,-
                                                            3 Lodong                                    600,-
                                                            4 Gelas                            200,-
                                                            4 Cangkir                                    300,-
                                                            1,5 Kopi dan minyak                   250,-
                                                            4 Almari                                   1.250,-
                                                            3 Pintu Rusak                              250,-
                                                            9 Bidji Gentong Rusak              1.650,-
                                                            2 Djembang Rusak                      350,-
Jumlah Keseluruhan                                                                              : 2.127.100,-

BAB IV
Penutup

Kesimpulan
Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Agresi yang merupakan pelanggaran dari Persetujuan Linggajati.
Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.
Tujuan Belanda melakukan serangan atas RI yang dimulai sejak 21 juli 1947 ialah menghancurkan RI.
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati. Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Rakyat Indonesia tidak terima dengan adanya Agresi Militer Belanda, dengan terjadinya pemberontakan dimana-mana. Jalan perdamaian dilalui dengan adanya perjanjian Renville, dan tetapi perlu perjuangan yang sangat keras dalam menghadapinya.
Dampak dari Agresi Militer Belanda adalah banyak terjadi korban dimana-mana karena pembunuhan dan kekejaman Belanda, terjacinya kerusakan dan kerugian yang sangat besar dari masyarakat Indonesia.








  

Daftar Pustaka
Sumber
Nasutiaon. H. A. DR. 1978 Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 5 (Agresi Militer Belanda I ). Bandung : Angkasa
Onghukham. 1987. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta : PT Gramedia
Notosusanto Nugroho. 1980 Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA II. Dewan Pendidikan dan Kebudayaan
Poesponegoro Djoened Marwati.1993 Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Putaka
Moejanto G M.A. 1974 Indonesia Abad Ke-20 II Kanisius
Nasution, A.H., Sedjarah Perdjuangan Nasional di Bidang Bersendjata, Djakarta, 1966
Adam Malik ; Riwayat dan Perjungan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Wijaya Jakarta, 1962
Nasution, jenderal A.H. ; Pokok-pokok Gerilya, Pembimbing masa, Jakarta, 1964
Ricklefs. H.C, Sejarah Indonesia Modern, Gajah Mada University Press
Nasution.A.H. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 6, Perang semesta I, Bandung : Angkasa
Sudiyono Drs. 2002, Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta : Rineka Cipta
Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istemewa Yogyakarta 1977, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Arsip
Arsip No : 691
            Judul : Laporan Selayang Pandang Tentang Agresi Militer Belanda Di Yogyakarta Tahun 1948-1949
                           Sumber Arsip (L.28) Serinai Arsip Multi Subyek 2 ( No : 172-872)



[1] Karangan L. N. Palar
[2] Merdeka, 5 Oktober 1948
[3]  Pelita Rakjat, 29 November 1948
[4] Pelita Rakjat,15 Desember 1948

[6] Djenderal A.H. Nasution, TNI, jilid II, Djakarta, 1968, hal. 250-251
[7] Djenderal A.H. Nasution, OP, Cit,. hal. 187.